Beranda Pendidikan Agama Islam Materi Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam Lengkap

Potingan Terkait

Materi Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam Lengkap

Pada postingan artikel kali ini Synaoo.com akan memberikan materi tentang Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam pada Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kelas 11 Semester 1 Kurikulum 2013.

Pengertian Mu’amalah

Ekonomi Islam atau Mu’amalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut.

  • Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
  • Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
  • Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
  • Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
  • Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
  • Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

Baca Juga : Pengertian Jujur, Manfaat, Dalil, Contoh dan Pembagiannya

Macam-Macam Mu’amalah

Jual Beli

Jual beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:

Artinya:”… dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi kekurangan di kemudian hari, al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.

Syarat-Syarat Jual-Beli

Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.

1. Penjual dan Pembeli

  • ballig
  • berakal sehat
  • atas kehendak sendiri

2. Uang dan Barang

  • Halal dan suci.
  • Bermanfaat.
  • Keadaan barang dapat diserah terimakan.
  • Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
  • Milik sendiri.

3. Ijab Qobul

Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

Khiyar Ekonomi Islam

1. Pengertian Khiyar

Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyar karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.

Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Macam-Macam Khiyar

a. Khiyar Majelis

Khiyar Majelis adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Khiyar Syarat

Khiyar Syarat adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.

Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi.

Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)

c. Khiyar Aibi (cacat)

Khiyar Aibi adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

Riba Dalam Ekonomi Islam

1. Pengertian Riba

Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat.

Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.

Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:

  • sama timbangan ukurannya; atau
  • dilakukan serah terima saat itu juga,
  • secara tunai.

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.

2. Macam-Macam Riba

a. Riba Fadli

Riba Fadili adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya.

Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.

b. Riba Qordi

Riba Qardi adalah pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya.

Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.

c. Riba Yadi

Riba Yadi adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.

d. Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.

Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

Utang-piutang Dalam Ekonomi Islam

1. Pengertian Utang-piutang

Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian.

Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

2. Rukun Utang-piutang

Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:

  • Yang berpiutang dan yang berutang
  • Ada harta atau barang
  • Lafadz kesepakatan.

Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.

Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.

Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah/2: 280)

Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda, ”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi)

Sewa-Menyewa Dalam Ekonomi Islam

1. Pengertian Sewa-menyewa

Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:

Artinya: “…dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..” (Q.S. al-Baqarah/2: 233)

Artinya: “…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka…”(Q.S. aṭ-Ṭalāq/65: 6)

2. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa

  • Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
  • Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
  • Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
  • Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
  • Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
  • Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
  • Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.

Syirkah Dalam Ekonomi Islam

Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.

1. Rukun dan Syarat Syirkah

a. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani).

Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan harta).

b. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal.

Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.

c. Akad atau yang disebut juga dengan istilah sigat.

Adapun syarat sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

2. Macam-Macam Syirkah

a. Syirkah Inan

Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

Contoh syirkah ‘inan: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan kontribusi
modal sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

b. Syirkah Abadan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.

Contohnya: A dan B samasama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara
syarik (mitra usaha).

c. Syirkah Wujuh

Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujūh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.

d. Syirkah Mufawadah

Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujūh.

Contohnya: A adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B dan C. Kemudian, B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam
hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud muḍārabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inān di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufāwaḍah.

e. Mudarabah

Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (sahibul mal), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan,
pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.

Mudarabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.

Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

f. Musaqah

Musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.

g. Muzara’ah

Muzara’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani.

h. Mukhabarah

Sementara mukhabarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.

Perbankan Menurut Ekonomi Islam

1. Pengertian Perbankan

Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga.

Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.

Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut.

a. Bank Konvensional

Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syari’ah

Bank Syariah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam.

Sistem bank Syariah :

1) Mudarabah

Mudarabah yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem mudarabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.

2) Musyarakah

Musyarakah yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.

3) Wadi’ah

Wadi’ah yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktuwaktu pemiliknya memerlukan.

4) Qardul Hasan

Qardul hasan yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.

5) Murabahah

Murabahah yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang
hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara jujur
menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

Asuransi Syari’ah Dalam Ekonomi Islam

1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muamalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah atau ekonomi islam dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Ekonomi Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.

Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.

Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:

Artinya: “…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Q.S. al-Māidah/5: 2)

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

2. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional

Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi.

Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu
berbentuk barang ataupun jasa.

Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk
agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.

Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

 

Demikian materi tentang Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam dari Synoo.com.

Semoga materi ini dapat bermanfaat bagi sobat semua.

Terimakasih.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia"

Kategori