Ontologi dalam konteks filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat realitas dan eksistensi. Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: “Apa yang ada?” dan “Bagaimana hakikat dari sesuatu itu?” Dalam buku “Pengantar Filsafat Ilmu” oleh Suaedi, ontologi termasuk dalam salah satu dari tiga pilar utama filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi
Pengertian Ontologi
Ontologi memiliki berbagai pengertian. Secara etimologis, kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “On” (Ontos) yang berarti ada, dan “logos” yang berarti ilmu, sehingga ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang yang ada. Dalam istilah, ontologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat dari sesuatu yang ada, yang merupakan realitas tertinggi, baik yang bersifat jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004). Menurut Aristoteles, ontologi adalah kajian tentang keberadaan sebagai keberadaan (being as being), yang mengalami perubahan mendalam terkait dengan objek kajiannya (Gie, 1997).
The Liang Gie mendefinisikan ontologi sebagai bagian dari filsafat dasar yang mengeksplorasi makna eksistensi dan mencakup berbagai persoalan seperti (Gie, 1997):
a. Apa makna dari keberadaan, dari sesuatu yang ada?
b. Apa saja golongan-golongan dari sesuatu yang ada?
c. Apa sifat dasar kenyataan dan keberadaan itu?
d. Bagaimana cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori logis yang berbeda (misalnya objek fisik, konsep universal, abstraksi, dan bilangan) dapat dianggap ada?
Aspek Ontologi
Objek kajian ontologi adalah keberadaan. Dalam filsafat, studi tentang keberadaan biasanya dilakukan dalam cabang filsafat metafisika. Namun, istilah ontologi lebih sering digunakan saat membahas keberadaan dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi mempelajari apa yang ada tanpa terikat pada satu bentuk tertentu, dan mencakup seluruh aspek keberadaan secara universal. Ontologi berusaha menemukan inti dari setiap realitas, atau seperti yang dijelaskan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan keberadaan yang mencakup semua bentuk realitas.
Objek formal ontologi adalah hakikat dari semua realitas. Dalam pendekatan kuantitatif, realitas dipandang dari segi jumlah atau kuantitas, sedangkan dalam pendekatan kualitatif, realitas dapat dilihat dari perspektif seperti materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorfisme.
Untuk menjelaskan aspek ontologis dari suatu ilmu pengetahuan, perlu dilakukan secara metodis (menggunakan metode ilmiah), sistematis (tersusun secara teratur dan saling berkaitan), koheren (unsur-unsurnya harus saling berhubungan tanpa kontradiksi), rasional (berdasarkan pemikiran yang logis), komprehensif (melihat objek dari berbagai sudut pandang), radikal (mengupas hingga ke akar persoalannya), dan universal (dapat diterapkan secara umum di berbagai situasi).
Fungsi dan Manfaat Ontologi
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi adalah untuk melakukan refleksi kritis terhadap objek atau bidang kajian, serta terhadap konsep, asumsi, dan postulat dalam ilmu pengetahuan. Beberapa asumsi dasar keilmuan antara lain: pertama, dunia ini nyata dan kita dapat mengetahui keberadaannya. Kedua, manusia dapat memahami dunia empiris melalui pancaindranya. Ketiga, fenomena yang ada di dunia ini saling berhubungan secara kausal (Ansari 1987 dalam Ihsan 2010).
Ontologi menjadi penting karena, pertama, jika suatu asumsi dasar keliru, maka teori dan metodologi ilmu yang dibangun di atasnya juga akan salah. Misalnya, ilmu ekonomi yang didasarkan pada asumsi bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lain” dan bahwa manusia pada dasarnya adalah “homo ekonomikus,” makhluk yang selalu serakah (Sastra Ratedja 1988 dalam Ihsan 2010). Asumsi ini akan membentuk teori dan metode yang menekankan keserakahan manusia. Kedua, ontologi membantu ilmu pengetahuan dalam membentuk pandangan dunia yang utuh, menyeluruh, dan konsisten. Meskipun ilmu pengetahuan memiliki kecenderungan untuk mengkaji hal-hal secara mendalam dan spesifik, pada kenyataannya, hasil penelitian ilmiah sering kali hanya menghasilkan kesimpulan yang terpisah-pisah dan parsial.
Metode Ontologi
Metode ontologi digunakan sebagai alat dalam filsafat secara umum, termasuk dalam pengembangan dan pengujian teori dengan mengaitkan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Metode ini, yang awalnya digunakan oleh Aristoteles, telah berkembang hingga kini para ontologis dapat menggunakan kerangka formal seperti aljabar dan teori kategori untuk merumuskan teori dan menguji konsistensinya.
Berikut adalah beberapa pandangan utama dalam ontologi:
a. Monisme: Pandangan ini meyakini bahwa seluruh kenyataan berasal dari satu hakikat yang mendasar, baik materi maupun rohani. Contohnya, materialisme menganggap materi sebagai dasar segalanya, sedangkan idealisme memandang roh sebagai inti dari segala hal.
b. Dualisme: Aliran ini berpendapat bahwa ada dua hakikat yang mendasar, yaitu materi dan roh, yang keduanya berdiri sendiri dan tidak saling tergantung.
c. Pluralisme: Pandangan ini menyatakan bahwa kenyataan terdiri dari banyak unsur. Tokoh-tokohnya termasuk Anaxagoras dan Empedocles yang berpendapat bahwa segala sesuatu terdiri dari empat unsur: tanah, air, api, dan udara.
d. Nihilisme: Paham ini menolak keberadaan realitas mutlak dan meyakini bahwa segala sesuatu tidak memiliki makna atau keberadaan yang nyata. Tokoh utamanya adalah Friedrich Nietzsche, yang menganggap bahwa nilai-nilai tradisional akan lenyap dan manusia harus menciptakan nilai baru.
e. Agnostisisme: Paham ini menyatakan bahwa manusia tidak mampu mengetahui hakikat dari sesuatu, baik yang bersifat materi maupun rohani. Tokohnya, seperti Soren Kierkegaard dan Martin Heidegger, berpendapat bahwa hanya manusia yang bisa memahami dirinya sendiri, sementara kenyataan transendental tidak dapat diketahui.
Secara keseluruhan, pandangan-pandangan ini memberikan kerangka untuk memahami berbagai perspektif tentang realitas dan keberadaan dalam filsafat.